Pledoi Pawang Hujan Mandalika

    Pledoi Pawang Hujan Mandalika
    Rara Istiati Wulandari

    BLITAR - Saya agak tersinggung ketika Rara Istiati Wulandari, Si Pawang Hujan Sirkuit Mandalika dijadikan gimmick oleh Fabio Quartararo yang secara teatrikal menirukan aksinya yang memutar-mutar singing bowl dengan mallet stick miliknya. 

    Terlepas saya tidak pernah tertarik dengan argumen eksistensi transendental, menertawakan ikhtiarnya di tengah guyuran hujan adalah persoalan yang samasekali berbeda. 

    Bersandar pada dalil wa laa yajrimannakum syana-aanu qoumin ‘alaaa ta’diluu, bahwa ketika kita tidak suka dengan seseorang harusnya kita semakin bersikap adil kepadanya maka dengan ini, saya ingin mewakili yang bersangkutan untuk melakukan pembelaan dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat sederhana, hujan itu turun dari awan atau dari langit?

    Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus melihat siklus hidrologi, yang mana kita tahu, air hujan merupakan hasil dari proses penguapan baik melalui fenomena evaporasi yakni sebuah peristiwa yang disebabkan oleh suhu matahari yang sangat tinggi kemudian mengakibatkan air tanah menguap ke atas dalam bentuk gas. Atau transpirasi, yaitu proses penguapan pada tumbuhan ketika melakukan pernapasan.

    Jadi, setelah proses penguapan berlangsung, dan di sisi lain suhu di atas sana cenderung rendah yang membuat gas-gas tersebut atau uap air tersebut mengalami proses pengembunan hingga menjadi partikel-partikel es, dari situ kemudian terbentuklah awan jenuh.

    Selanjutnya, setelah awan terbentuk bersamaan dengan suhu udara di kentinggian menjadi semakin dingin, membuat massa awan menjadi sangat berat dan akhirnya titik-titik air yang terkandung di dalam awan berjatuhan; peristiwa inilah yang kemudian kita kenal sebagai hujan, atau dalam istilah akademis disebut dengan spresipitasi.

    Tentu saya menyadari penjelasan di atas bukan sesuatu yang baru karena kita semua pernah mempelajarinya saat masih duduk di bangku sekolah dulu. Tapi, yang hampir kita lewatkan, bahwa awan adalah sekumpulan substansi kimia yang tersusun dari satu atom oksigen dan dua atom hidrogen yang mengikat proton yang bermuatan positif. 

    Neutron yang tidak bermuatan alias netral, dan elektron yang bermuatan listrik negatif yang mana di dalam tubuh manusia juga memiliki hal serupa sehingga proses memanipulasi kutub positif dan kutub negatif pada air menjadi sangat logis jika kita mengandaikan air dan manusia seperti besi sembrani yang bisa mempengaruhi satu sama lain. 

    Bisa saling tarik dan mendorong satu sama lain. Dan, kegiatan memanipulasi hujan ini pada akhirnya memunculkan teknologi rekayasa cuaca atau Weather Modification Technology (WMT) dengan mengubah proses fisika di dalam awan menggunakan Natrium Klorida.

    Tidak jauh berbeda dengan konsep metaverse yang pernah diucapkan oleh Presiden Jokowi di acara Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 pada 22 Desember 2021 lalu di mana kita semua tahu bahwa diksi metaverse pertama kali muncul pada tahun 1992 di dalam karya novel yang berjudul Snow Crush karangan Neal Stephenson yang kemudian dipopulerkan oleh Mark Zuckerburg yang hari ini didefinisikan sebagai ruang virtual yang dapat mempertemukan berbagai macam orang dari berbagai belahan dunia tanpa perlu bersentuhan secara fisik.

    Di dalam pidatonya, bagaimana Presiden Jokowi terkesan saat diajak main pingpong oleh Mark Zuckerberg ketika berkunjung ke Silicon Valley, kantor pusat Meta beberapa tahun yang lalu: “Saya diajak main pingpong Mark Zuckerberg. Tapi tidak ada bolanya, tidak ada mejanya; hanya memakai macamata Oculus dan kami main bersama.”

    Bagi manusia modern, penemuan tersebut mungkin sudah dianggap sebagai sesuatu yang paling mutakhir. Tapi, bagi orang-orang seperti Rara Istiati Wulandari terutama mereka yang ada di Jawa, konsep tersebut tidaklah asing karena budaya Jawa telah memperkenalkan adaigum sak kedhep netro tumeko barang keterjang sumilak. 

    Cukup dengan mathek aji atau ngraga sukma, seseorang bisa bertemu sacara non-fisik meskipun jarak mereka berjauhan hanya dengan setarikan napas. Jadi, konsep tersebut tidak terlalu membuat mereka kaget apalagi gumun ketika metaverse diperkenalkan karena, bagi pegiat spiritual, hal tersebut hanya sebuah pengulangan seperti pawang hujan menjadi Weather Modification Technology atau telepati menajadi telepon.

    Maka, dari dua peristiwa di atas seharusnya manusia modern belajar menahan diri untuk tidak buru-buru membuka mulut seraya melontarkan narasi-narasi yang bernada cibiran terhadap sesuatu yang bersifat tradisional. Karena, meminjam Ambrose Bierce, there is nothing new under the sun, tidak ada hal baru di bawah matahari. Semua yang kita nikmati hari ini atau yang akan kita peroleh esok hari merupakan pengembangan dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya.

    Atau saya pakai contoh lain.

    Atom, secara substansi pernah diucapkan oleh seorang Philosophia Naturalis yang bernama Parmenides yang berpendapat bahwa dunia berasal dari satuan terkecil. Kemudian dilanjutkan Democritus yang menggunakan istilah atom untuk menyebut satuan terkecil yang tak terbagi. 

    Berikutnya ada John Dalton yang memberi pendapat bahwa atom merupakan bola pejal yang tidak bermuatan. Selanjutnya Sir Joseph John Thomson yang mengatakan atom adalah bola padat yang menyerupai kismis yang bermuatan positif dan negatif yang tersebar di dalamnya. 

    Lalu Ernest Rutherford yang menganggap bahwa atom mengandung inti atom yang bermuatan positif dengan elektron yang mengelilingi dalam lintasannya. Terakhir Neils Bohr, yang mengatakan bahwa atom terdiri dari inti atom yang mengandung proton dan neutron dan dikelilingi oleh elektron yang berputar dalam orbitnya hingga akhirnya dikembangkan lagi menjadi teori atom mekanika kuantum dan bertemulah kita dengan nama Albert Einstein yang sangat kita kenal rumasnya yaitu E = MC⊃2;. 

    Dengan produknya yang berupa bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Semua proses penemuan tersebut berkesinambungan, laiknya anak tangga yang masing-masing memiliki peran hingga mengantarkan penggunanya menuju ke atas.

    Jadi intinya, ritual yang dilakukan oleh Rara Istiati Wulandari membuat hujan benar-benar berhenti merupakan fakta yang tidak boleh kita negasikan. Dan setelah itu, kita sama-sama tahu perhelatan dapat dilangsungkan di Sirkuit Mandalika sesuai rencana. Aksinya hari itu mendapat banyak sekali pujian dari berbagai media asing, tapi anehnya orang kita sendiri malah mengejeknya.

    Lantas ada yang bertanya.

    Kenapa orang Indonesia tidak bangga dengan kearifan lokal yang dimilikinya. Kenapa orang lain memberikan apresiasinya dan kita malah sebaliknya. Dan, kenapa orang Blitar gemar menrik-narik orang lain yang sedang bergerak menuju ke atas, padahal dalam hati kecilnya tahu jika dirinya tidak semumpuni orang yang sedang ditarik agar jatuh itu.

    Oleh: Fajar SH

    Pegiat Literasi Blitar dan Ketua Bidang Komunikasi Publik PPI (Perhimpunan Pergerakan Indonesia) Pincab Kabupaten Blitar

    Sumartono

    Sumartono

    Artikel Sebelumnya

    Tinjau Pasar Minggu, Kapolri Pastikan Stok...

    Artikel Berikutnya

    Novita Wijayanti Apresiasi Progres Pembangunan...

    Berita terkait